Mereka selalu berusaha menjahui hal-hal yang tidak pantas baik lahir maupun batin. Kalimat "wong kok ora njowo" digunakan sebagai kritikan terhadap seseorang yang melakukan hal yang tidak bermanfaat, supaya dia tidak terperosok dalam kubangan kehinaan karena berbuat sesuatu yang merendahkan martabatnya sendiri.
Orang jawa yang sungguh-sungguh mengasah jiwa raganya akan selalu berada pada posisi 'njowo', baik ketika ditempat umum maupun sendiri. Mereka tidak memandang celaan atau pujian orang lain dan tidak mengharap manfaat atau pencegahan madhorot dari orang lain. Bagi orang yang 'njowo' hidup itu mengalir saja mengikuti gerak kemana kuasa ilahi mengarahkan mereka, sambil terus melakukan sesuatu yang bermanfaat lahir dan batin, bermanfaat bagi dirinya sendiri atau orang lain dan lingkungannya. Sehingga mereka tidak berhenti berfikir, bagaimana dirinya supaya terus 'njowo'; terus bermanfaat.
'Wong jowo kudu ngerti jawane'. Supaya 'ngerti jawane' ('njowo') harus punya adab dan tatakrama. Semisal yang lebih muda berbahasa yang baik ('kromo') kepada yang lebih tua. Tua disini bukan berarti harus lebih tua umurnya, bisa jadi usianya lebih muda tapi dituakan karena mempunyai kelebihan-kelebihan khusus.
Kata 'njowo' sering pula disematkan untuk selain suku jawa, bahkan selain orang Indonesia. Dikisahkan pernah ada seorang putri jawa yang setelah menempuh pendidikan di eropa dia jatuh hati dan hendak menikah dengan pemuda asal Asia Selatan. Sang ayah tentu saja khawatir akan hal itu. Tetapi setelah dikonsultasikan dengan seseorang yang bijaksana dan mengetahui budaya di sana, ia mengatakan bahwa orang Pakistan itu ada yang 'luweh njowo tinimbangane wong jowo' (lebih jawa dari pada orang jawa).
Sehingga bisa diambil kesimpulan bahwa siapapun asal baik, maka bisa dikatakan 'njowo'.